Sungai Chepir

Sebatang sungai yang mengalir merentasi kampungku adalah Sungai Chepir. Sungai yang bengkang bengkok itu mengalir dari hulu di kawasan chepir hingga bertembung dengan sungai muda di Jeniang.

Sungai itu suatu waktu dulu adalah nadi bagi seluruh penduduk yang tinggal di pinggirnya. Bak kata Sasterawan Negara, Shahnon Ahmad, sungai itulah nadi bagi seluruh kehidupan penghuni Sik.

Aku juga sewaktu mula melangkah alam dewasa, seringkali menjadikan sungai itu sebagai medan perjuangan. Mencari anak-anak ikan dan udang adalah satu kemestian. Dingin pagi berteman liuk lampu pelita minyak tanah adalah memori yang cukup jelas dalam ingatan. Mandi di sungai adalah perkara wajib sebelum ke sekolah. Kebetulan waktu itu, bekalan elektrik belum lagi ada di kawasan kampung kami.

Jadi... sesekali rasa rindu itu menghambat jua, biarpun kini aku kembali menjadi peneman setianya.

Sungai Chepir

Lumpur yang terpalit
Mengirim rindu pada kembara jauh
Menerjah besok yang semakin ditinggalkan

Terkujur menyesah rindu
Di air kelodak berpusar
Bila saja musim duku
Menerjah menyapa cerita

Liuk pelita kiri kanan
Menggigil bersama sejuk pagi
membawaku kedasarmu
Demi diri yang mengadap buku

Airmu adalah riang riaku
Bila saja sang udang bersembunyi di balik buluh
Lalu tertawa aku
Melihat sepit hanyut di air lalu

Aku tidal kupa terima kasih
Bila lampam, sia, terbuk menyambar tali
Tersentak
Menjadi tawar di panggang api

Bukan salahmu
Resah melimpah
menyapa halaman
Berkelodakan

Tangismu adalah pada musim
Membawa lupa pada setiamu
Namun
Aku kembali menyapa
Demi rinduku.


Kemelong. 1 Sept 1991